LOGIKA BAHASA INDONESIA
Judul itu terinspirasi dari perjalanan rokhani tahun 2010 ketika kami melaksanakan umroh yang kesembilan. Rombongan bulan Juli 2010 tergolong rombongan agak luar biasa. Mengapa? Pada saat itu rombongan yang terdiri 32 orang ternyata ada di antaranya orang-orang hebat dalam bidang akedemisi. Mereka adalah: satu orang bergelar Prof. Dr. ahli jantung RSUD dr. Sutomo, Surabaya, satu orang lagi Prof. Dr. Nur Cholis, ahli di bidang farmasi, dan dua orang lagi calon doktor bidang kesehatan. Dari Prof. Dr. Nur Cholislah inspirasi judul itu muncul walaupun hakikatnya implementasi di pelaksanaan pengajaran bahasa Indonesia sudah lama terterapkan.
Selama bergaul di Tanah Suci, kami sering berdiskusi tentang siswa, tentang pembelajaran, tetang pemberian sanksi kepada siswa dan mahasiswa. Tampak sekali beliau orang yang sangat disiplin. Profesor Nur Cholis memberikan materi farmakologi di UNER. Jabatan strukturalnya sekertaris rektorat UNER. Mentereng juga jabatannya.
Pada saat perjalanan pulang menuju Indonesia, saat penerbangan antara King Abdul Azis sampai menjelang di atas wilayah udara Colombo, kami terlibat diskusi cukup serius tertang pendidikan dan kiat-kiat masuk perguruan tinggi. Beberapa kiat rahasia agar bisa masuk perguruan tinggi, maaf saya tidak menggunakan istilah “diterima di perguruan tinggi” sebab menurut saya memiliki konotasi berbeda antara “masuk” dan “diterima” diberitahukan secara fulgar kepada saya.
Saya tanyakan kiat-kiat yang dimaksud Prof. itu. Ternyata hal yang boleh dikatakan memegang kunci dari sekian mata pelajaran yang diujikan ketika tes masuk perguruan tinggi adalah bahasa Indonesia dan bahasa Inggeris. Bagaimana dengan mata pelajaran jurusan? Kata beliau, sambil berkelakar, “Asalkan gak sampai nol.”
Hal yang sungguh mengejutkan dari beliau adalah:
1. Putra putrinya ketika masih di tingkat SMA dilarang mengikuti bimbingan belajar ataupun les mata pelajaran mipa, tetapi beliau menyusuh mereka les mata pelajaran bahasa Indonesia dan bahasa Inggeris. Sungguh aneh.
2. Beliau, yang ahli farmasi itu, justru lebih banyak memberikan bimbingan kepada mahasiswanya (ketika membuat tugas akhir) tetang kebahasaindonesiaan. Aneh juga orang ini.
Saya kejar dengan pertanyaan, mengapa begitu? Jawaban beliau sangat enteng, tetapi luar biasa. Apa jawaban beliau, “Bahasa Indonesia itu penuh logika. Siapa pun yang mampu menguasai bahasa Indonesia dengan logika yang sebenarnya, semua mata pelajaran akan dengan mudah kita terima. Karena itu, saya melarang anak-anak saya mengikuti bimbingan belajar atau pun les MIPA. Alhamdulillah, anak-anak saya berhasil masuk perguruan tinggi semua, termasuk diterima di Erlangga, tanpa bantuan saya, walaupun saya orang dalam.”
Beliau sempat memuji mahasiswa-mahasiswa yang diajarnya yang berasal dari Lamongan. Katanya, mereka itu ketika masuk, dilihat dari paparan angka yang dimilikinya, biasa-biasa saja, tetapi setelah berada di dalam kampus prestasinya sangat bagus. (bravo Lamongan)
Masih banyak cerita ketika ngobrol dengan dalam perjalanan rokhani itu, tetapi yang paling member inspirasi, obrolan berkait dengan bahasa Indonesia.
Jika kita amati dan kita cermati pola pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah kita memang masih banyak yang berkutat di model konvensional. Dengan model seperti itu membawa pengaruh besar terhadap model berfikir para siswa ketika mengikuti pelajaran bahasa Indonesia jika pembelajaran itu lebih banyak didasari dengan pendekatan logika. Itu sangat saya rasakan ketika saya mengajar di tingkat SMA atau pun ketika memberi kuliah di perguruan tinggi. Mereka sangat sulit menjawab soal dengan pendekatan logika. Sampai-sampai, ketika setiap kali pertama saya mengajar di kelas X, materi yang saya berikan kepada mereka adalah “Sudahkah kita berbahasa Indonesia?” Itu pun saya memberikannya tidak cukup satu, dua kali pertemuan. Mengapa memerlukan waktu panjang? Sekali lagi, dasar-dasar logika bahasa Indonesia harus kita kenalkan dan kita terapkan kepada mereka. Itu pun perlu ketelatenan dan wawasan yang cukup guru yang bersangkutan.
Untuk bisa berbuat dan menerapkan logika bahasa Indonesia, guru yang mengajarkan bahasa Indonesia harus:
1. Memiliki wawasan yang cukup tentang bahasa Indonesia. Wawasan itu tidak akan hanya diperoleh ketika masih berkuliah. Justru, yang lebih banyak diperoleh dari perjalanan hidup bersama bahasa Indonesia itu sendiri.
2. Guru bahasa Indonesia harus memiliki keberanian secara revolusioner melakukan
terobosan-terobosan yang secara logika memiliki kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan.
Harus diakui, tidak semua materi pembelajaran bahasa Indonesia harus didekati dengan pendekatan logika. Tetapi, tidak sedikit juga materi bahasa Indonesia yang harus didekati dengan pendekatan itu. Malahan, jika materi yang seharusnya dikelola dengan pendekatan logika, tetapi justru materi itu didekati dengan pendekatan konvensional, hasilnya justru menjadi salah. Materi-materi yang harus menggunakan pendekatan logika tidak hanya terbatas pada materi kebahasaan, tetapi justru materi kesesastraan banyak juga yang harus dipecahkan dengan menggunakan pendekatan logika.
Mari kita coba mengikuti alur permasalahan berikut!
Missal, seseorang membuat karya tulis “cerita” sebagai berikut:
Suatu hari aku berjalan-jalan di suatu tempat. Keindahan alam terpajang alami. Tiada rasa dan mata manusia yang tak menyanjungNya. Sayang saat itu aku sendiri. Dan memang masih sendiri. Menjelang di suatu belokan jalan aku merasa ada sesuatu yang menarik terhadap hatiku. Ternyata ada sesosok wanita sedang berjalan diantara rombongan. Tampak ia sangat menikmati. Itulah kamu. Harapanku. Dambaanku. Walau aku belum pernah beradu kata. Karena itu ketika berpapasan aku pandang wajahmu dengan rasa hatiku. Tetapi tiada reaksi apapun yang terpancar disudut matamu. Hanya kehampaan yang ada. Hanya kesunyian yang nyata. Asaku sirna. Tiadakah rasa.
Sepintas, sepertinya tulisan itu tidak ada masalah. Karena kepandaian penulis membungkus wacana itu dengan cerita yang indah, kesalahan-kesalahan pada wacana itu tidak terasakan.
Menjelaskan kesalahan-kesalahan apa saja yang terdapat pada wacana itu, tidak cukup dipecahkan secara konvensional. Tetapi, harus dibarengi dengan pendekatan logika. Sehingga, jika wacana itu dihadapkan kepada para siswa dan kesalahan yang ada dijelaskan dengan pendekatan logika, para siswa pasti akan menerima. Padahal, wacana itu seharusnya ditulis sebagai berikut
Suatu hari aku berjalan-jalan di suatu tempat. Keindahan alam terpajang alami. Tiada rasa dan mata manusia yang tak menyanjung-Nya. Sayang, saat itu aku sendiri. Dan, memang masih sendiri. Menjelang di suatu belokan jalan, aku merasa ada sesuatu yang menarik terhadap hatiku. Ternyata ada sesosok wanita sedang berjalan di antara rombongan. Tampak ia sangat menikmati. Itulah kamu. Harapanku. Dambaanku. Walau, aku belum pernah beradu kata. Karena itu, ketika berpapasan, aku pandang wajahmu dengan rasa hatiku. Tetapi, tiada reaksi apa pun yang terpancar di sudut matamu. Hanya kehampaan yang ada. Hanya kesunyian yang ada. Asaku sirna. Tiadakah rasa?
Tulisan berwarna, member informasi bahwa di wilayah itu harus ada sesuatu yang diterapkan. Cara menjelaskannya tidak semata karena aturannya di EYD harus seperti itu. Tetapi, juga harus didekati secara logika, mengapa itu harus begitu sedangkan yang ini harus begini.
Memang, sekian jumlah kesalahan itu tidak terasa sama sekali mengganggu kita menikmati isi wacana itu. Tetapi, logika umumnya menjadi, seperti itukah pemakai bahasa Indonesia berbahasa Indonesia?
Contoh lain yang benar-benar pembongkarannya harus menggunkan logika. “Adik saya memakan nasi goreng kemarin”. Bagi yang membuat kalimat itu paham betul terhadap isi kalimat itu. Tetapi, bagi orang lain akan sangat tidak memahami, apa sebenarnya yang diingini pembuat kalimat itu. Sehingga, muncul sekian jumlah pertanyaan:
1. Siapa yang memakan nasi goreng? Saya? Adik saya? Adik dan saya?
2. Kapan aktivitas itu dilaksanakan? Kemarin? Sekarang?
3. Nasi goreng kapan yang dimakan? Kemarin? Sekarang?
4. Kalimat itu hanya sekedar memberi tahu si adik?
Logika yang bagaimanakah yang harus kita terapkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu?
Jika yang diingini menimbulkan makna “saya yang memakan nasi goreng”, logikanya, pembacaannya harus ada jeda anatara “adik dan saya”. Salah satu wujud “jeda antara” berupa tanda baca koma. Karena itu, kalimat “Adik saya memakan nasi goreng kemarin” menjadi “Adik, saya memakan nasi goreng kemarin”. Dengan catatan, penulisan model seperti itu dengan kasus seperti itu tidak boleh diartikan yang melakukan aktivitas dua orang. Jika yang melakukan aktivitas dua orang yaitu “adik dan saya”, ada cara yang harus dilakukan dan logika kita harus menerima. Bagaimana caranya? Di antara “adik” dan “saya” diberi kata sambung “dan”. Apa logikanya? Pembaca akan mengucapkan gabungan kata “adik dan saya” dalam satu kesatuan dan jeda jatuh setelah kata “saya”.
Jika yang melakukan aktivitas itu hanya “adik” sedangkan “saya” sebagai kata ganti milik, logika pembacaannya antara “adik” dan “saya” tidak boleh ada jeda antara. Jeda antara harus diletakkan setelah kata “saya” sehingga penulisannya harus diberi tanda hubung (-) di antara kata “adik” dan “saya”, menjadi “Adik-saya memakan nasi goreng kemarin”.
Berikutnya yang harus mendapat perhatian adalah gabungan kata “nasi goreng kemarin”. Logika yang harus diterapkan pada kasus itu adalah:
1. Jika kata “kemarin” sebagai keterangan terhadap “nasi goreng”, penulisannya harus dihubungkan dengan “nasi goreng” menggunakan tanda hubung (-) menjadi “nasi goreng-kemarin”. Sehingga, kalimatnya menjadi “Adik-saya memakan nasi goring-kemarin”.
2. Jika “kemarin” sebagai keterangan seluruh isi kalimat itu, ada dua cara yang dapat kita lakukan:
a. Setelah kata “goreng”, kita beri tanda baca koma (,), menjadi “Adik-saya memakan nasi goring, kemarin”.
b. kata “kemarin” kita jauhkan dari gabungan kata “nasi goreng”, menjadi “Kemarin adik-saya memakan nasi goreng”. Atau, “Adik-saya kemarin memakan nasi goreng”.
Jika demikian, kalimat “Adik saya memakan nasi goreng kemarin”. Jika ditinjau dari sudut logika makna, seharusnya ditulis sebagai berikut:
1. Adik, saya memakan nasi goreng-kemarin.
2. Adik-saya memakan nasi goreng-kemarin.
3. Adik dan saya memakan nasi goreng-kemarin.
4. Adik, kemarin saya memakan nasi goreng.
5. Adik, saya kemarin memakan nasi goreng.
6. Adik-saya kemarin memakan nasi goreng.
7. Adik dan saya kemarin memakan nasi goreng.
Bagaimana dengan kalimat yang memiliki kemiripan dengan kalimat itu? Misal, Adik, saya dan kakakku memakan nasi goreng. Pertanyaannya menjadi, berapa orang yang memakan nasi goreng? Dua orang atau tiga orang? Jika yang melakukan aktivitas itu dua orang, penulisan seperti itu sudah benar. Tetapi, jika yang melakukan aktivitas tiga orang yaitu adik, saya, dan kakakku, penulisan seperti itu masih salah. Seharusnya ditulis “Adik, saya, dan kakakku memakan nasi goreng”. Bagaimana logikannya? Jika setelah kata “saya” diberi tanda baca koma, logika pembacaannya harus ada jeda antara, tetapi jika tidak ada, tidak boleh ada jeda antara setelah kata “saya” jeda antara baru-ada setelah “kakakku”.
Mengapa masyarakat pengguna bahasa Indonesia tampak tidak begitu peduli terhadap pemakaian bahasa sendiri? Berdasar pengalaman dan penelitian tidak resmi, beberapa hal yang menjadikan hal seperti itu antara lain:
1. Rasa cinta terhadap bahasa Indonesia
2. Bangsa Indonesia itu sangat dekat dengan bahasa Indonesia, tetapi jauh dari rasa hatinya.
3. Mengikuti kebiasaan pemakaian bahasa yang pernah digunakan orang lain, baik secara vertikal maupun horizontal.
4. Tidak mengetahui jika bahasayang digunakan ada kekurangbenaran.
5. Adanya kebiasaan “yang penting dapat dimengerti”.
Di lingkungan pendidikan, apa yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi kejadian-kejadian seperti itu? Ada beberapa yang bisa kita lakukan, antara lain:
1. Tertanam rasa cinta bahasa Indonesia lahir batin.
2. Tidak membiasakan “yang penting dapat dimengerti”.
3. Memahami, mampu, dan mau menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar.
4. Tidak menggampangkan pemakaian bahasa Indonesia.
Suatu hari datang seorang teman mengajak diskusi tentang problematika bahasa Indonesia. Yang bersangkutan merasa bersalah dan berdosa jika apa yang belum lama ini (katanya) disampaikan kepada siswanya masih diragukan kebenarannya. Yang bersangkutan menuliskan apa yang menjadi ganjalan hati dan pikirannya. Persoalannya penggunaan tanda kutip (“) pada kalimat kutipan langsung yang benar ditulis sebelum tanda koma atau setelah tanda baca koma.
Untuk menjelaskan itu, saya tidak mengatakan di EYD aturannya begini. Yang saya katakan adalah setiap segmental selalu diawali kesenyapan dan juga diakhiri kesenyapan. Kesenyapan akhir bisa berupa tanda titik (.), tanda tanya (?), atau mungkin tanda seru (!). Penulisan tanda baca kutip pada posisi kesenyapan akhir ditulis setelah kesenyapan akhir itu. Selain kedua kesenyapan itu, jika klausa atau kalimat itu panjang, biasanya, ada kesenyapan antara. Salah satu wujud kesenyapan antara adalah tanda baca koma. Tanda baca koma, hakekatnya tidak jauh berbeda dengan kesenyapan akhir. Jika tanda baca kutip pada kesenyapan akhir ditulis setelah lambang kesenyapan akhir maka logikanya tanda kutip ditulis setelah tanda kesenyapan antara.
Lega rasanya logika yang saya paparkan bisa diterima.
Hal lain yang seharusnya juga perlu pendekatan logika adalah permasalahan paragraf, khususnya paragraf persuasi. Penjelasan yang dipaparkan tentang paragraf persuasi. Hanya sayangnya, pendekatannya belum sampai pendekatan logika. Pendekatan yang digunakan baru pendekatan secara fisik, yaitu cirri-ciri yang secara jelas tampak pada jenis paragraf persuasi. Jika hal seperti it terus berlanjut, tidak akan pernah ada perkembangan sudut pandang terhadap pembelajaran penulisan paragraf persuasi. Padahal, di sekeliling kita banyak penulisan paragraf yang secara fisik tidak ada tanda-tanda persuasi, tetapi berdasar hakikat yang sebenarnya, bentuk tulisan itu seharusnya disebut persuasi.
Misal:
Pada awal Romadan, angin berembus dari bawah singgasana Tuhan, dan daun-daun pepohonan surga pun bergoyang hingga terdengar desir semilir teramat merdu. Tak pernah terdengar desir semilir semerdu itu. Menyaksikan hari pertama Romadan itu, orang-orang bermata jelita berdoa, “Ya, Allah, pada bulan Romadan ini jadikanlah salah seorang di antara hamba-Mu sebagai pasangan hidupku.” Maka Allah pun mengawinkan orang yang berpuasa dengan salah seorang dari orang yang bermata jelita itu. Bagi setiap orang yang bermata jelita tersedia 70 perhiasan warna-warni dan dipan dari batu mulia warna merah berhias mutiara.Disiapkan pula 70 kasur dan 70 aneka makanan. Semua itu khusus untuk orang yang berpuasa pada bulan Romadan, tanpa memperhitungkan amal kebaikannya yang lain.
(“Romadan dalam Imajinasi Nabi”, Jamal D. Rahman, Horizon Edisi IX, X 2007)
Secara fisik tulisan itu tidak menggambarkan paragraf persuasi, justru menunjukkan cirri deskripsi. Karena itu, banyak siswa atau pun guru BI mengatakan paragraf itu deskripsi. Jika hanya bertumpu pada ciri fisik, tidak salah dikatakan deskripsi.
Persoalannya menjadi (sebagai pembanding belaka), jika ada sesosok tubuh manusia memiliki ciri fisik seperti ciri fisik wanita dan ada kemungkinan justru melebihi cirri fisik wanita, selalukah dia kita sebut wanita? Beberapa waktu lalu Thailand menobatkan seorang penyanyi menjadi penyanyi idola. Secara fisik penyanyi idola itu boleh dikata cantik, suaranya merdu, seksi. Jika hanya berdasar ciri fisik itu, banyak orang akan mengatakan penyanyi itu wanita. Padahal, jika dilihat dengan menggunakan pendekatan “hakikat”, kita tidak akan mengatakan penyanyi itu wanita. Mengapa? Karena, dia termasuk kelompok “transseksual”.
Tidak jauh berbeda dengan contoh paragraf itu, hanya tidak mungkin kita sebut paragraf transseksual. Paragraf seperti itu kita sebut sebagai paragraf persuasi implisit. Artinya secara fisik tidak menunjukkan ciri persuasi, tetapi berdasar tujuan penulisan berisi persuasi. Pada paragraf itu dipamerkan kenikmatan-kenikmatan yang bisa diperoleh oleh orang yang berpuasa di bulan Ramadhan. Kenikmatan-kenikmatan seperti itu merupakan tujuan akhir manusia beriman. Itu berarti, dengan memaparkan keindahan dan kenikmatan seperti itu bertujuan memersuasi manusia beriman untuk melaksanakan ibadah puasa. Jika demikian, salahkah bentuk penulisan seperti itu disebut persuasi? Karena penampilannya deskripsi, akan lebih tepat jika disebut paragraf persuasi deskriptif.
Dan, masih banyak lagi contoh-contoh lain yang secara fisik bukan persuasi, tetapi secara tujuan berisi persuasi.
Dalam bidang pembelajaran sastra pun, ada beberapa bagian materi pembelajaran sastra yang penganalisisannya harus menggunakan pendekatan logika. Mari kita cermati puisi berikut:
Aku Dimakamkan Hari Ini
Perlahan, tubuhku ditutup tanah
perlahan, semua pergi meninggalkanku,
masih terdengar jelas langkah-langkah terakhir mereka,
aku sendirian, di tempat gelap yang tak pernah terbayang,
sendiri, menunggu keputusan...
Isteri, belahan hati, belahan jiwa pun pergi,
anak, yang di tubuhnya darahku mengalir, tak juga tinggal,
Apalah lagi sekedar tangan kanan, kawan dekat,
rekan bisnis, atau orang-orang lain,
aku bukan siapa-siapa lagi bagi mereka.
Isteriku menangis, sangat pedih, aku pun demikian,
anakku menangis, tak kalah sedih, dan aku juga,
Tangan kananku menghibur mereka,
kawan dekatku berkirim bunga dan ucapan,
tetapi aku tetap sendiri di sini,
menunggu perhitungan ...
Menyesal sudah tak mungkin,
Tobat tak lagi dianggap,
dan maaf pun tak akan didengar,
aku benar-benar harus sendiri ...
Tuhanku
(entah dari mana kekuatan itu datang
setelah sekian lama aku tak dekat dengan-Nya)
jika Kau beri aku satu lagi kesempatan,
jika Kau pinjamkan lagi beberapa hari milik-Mu,
beberapa hari saja ...
Aku harus berkeliling, memohon maaf pada mereka,
yng selama ini telah merasakan zalimku,
yang selama ini sengsara karena aku,
yang terindas akan kuasaku,
yang selama ini aku sakiti hatinya,
yang selama ini telah aku bohongi,
Aku harus kembalikan, semua harta kotor ini,
yang aku kumpulkan dengan wajah gembira,
yang aku kuras dari sumber yang tak jelas,
yang kumakan bahkan yang kutelan,
Aku harus tuntaskan janji-janji palsu yang sering aku umar dulu,
Dan Tuhan,
beri aku beberapa hari milik-Mu
untuk berbakti kepada ayah ibu tercinta,
teringat kata-kata kasar dan keras yang menyakitkan hati mereka,
maafkan aku ayah ibu,
mengapa tak kusadari betapa besar kasih sayangmu,
beri aku juga waktu
tuk berkumpul dengan isteri dan anakku,
untuk sungguh-sungguh beramal saleh,
Aku sungguh ingin bersujud di hadap-Mu,
bersama mereka,
Begitu sesal diri ini,
karena hari-hari telah berlalu tanpa makna
penuh kesia-siaan
kesenangan yang pernah kuraih dulu,
tak ada artinya sama sekali
mengapa kusiai-sia saja
waktu hidup yang hanya sekali itu
andai kubisa putar ulang waktu itu ...
Aku dimakamkan hari ini,
dan semuanya menjadi tak termaafkan,
dan semua menjadi terlambat, dan aku harus sendiri,
untuk waktu yang tak terbayangkan ...
(Dikutip dari internet)
Perlahan, tubuhku ditutup tanah
perlahan, semua pergi meninggalkanku,
masih terdengar jelas langkah-langkah terakhir mereka,
aku sendirian, di tempat gelap yang tak pernah terbayang,
sendiri, menunggu keputusan...
Isteri, belahan hati, belahan jiwa pun pergi,
anak, yang di tubuhnya darahku mengalir, tak juga tinggal,
Apalah lagi sekedar tangan kanan, kawan dekat,
rekan bisnis, atau orang-orang lain,
aku bukan siapa-siapa lagi bagi mereka.
Isteriku menangis, sangat pedih, aku pun demikian,
anakku menangis, tak kalah sedih, dan aku juga,
Tangan kananku menghibur mereka,
kawan dekatku berkirim bunga dan ucapan,
tetapi aku tetap sendiri di sini,
menunggu perhitungan ...
Menyesal sudah tak mungkin,
Tobat tak lagi dianggap,
dan maaf pun tak akan didengar,
aku benar-benar harus sendiri ...
Tuhanku
(entah dari mana kekuatan itu datang
setelah sekian lama aku tak dekat dengan-Nya)
jika Kau beri aku satu lagi kesempatan,
jika Kau pinjamkan lagi beberapa hari milik-Mu,
beberapa hari saja ...
Aku harus berkeliling, memohon maaf pada mereka,
yng selama ini telah merasakan zalimku,
yang selama ini sengsara karena aku,
yang terindas akan kuasaku,
yang selama ini aku sakiti hatinya,
yang selama ini telah aku bohongi,
Aku harus kembalikan, semua harta kotor ini,
yang aku kumpulkan dengan wajah gembira,
yang aku kuras dari sumber yang tak jelas,
yang kumakan bahkan yang kutelan,
Aku harus tuntaskan janji-janji palsu yang sering aku umar dulu,
Dan Tuhan,
beri aku beberapa hari milik-Mu
untuk berbakti kepada ayah ibu tercinta,
teringat kata-kata kasar dan keras yang menyakitkan hati mereka,
maafkan aku ayah ibu,
mengapa tak kusadari betapa besar kasih sayangmu,
beri aku juga waktu
tuk berkumpul dengan isteri dan anakku,
untuk sungguh-sungguh beramal saleh,
Aku sungguh ingin bersujud di hadap-Mu,
bersama mereka,
Begitu sesal diri ini,
karena hari-hari telah berlalu tanpa makna
penuh kesia-siaan
kesenangan yang pernah kuraih dulu,
tak ada artinya sama sekali
mengapa kusiai-sia saja
waktu hidup yang hanya sekali itu
andai kubisa putar ulang waktu itu ...
Aku dimakamkan hari ini,
dan semuanya menjadi tak termaafkan,
dan semua menjadi terlambat, dan aku harus sendiri,
untuk waktu yang tak terbayangkan ...
(Dikutip dari internet)
Jika kita berbicara titik pandang, puisi ini tidak bisa dikatakan menggunakan titik pandang orang pertama. Mengapa? Karena, persyaratan titik pandang orang pertama adalah pengarang harus menjadi pelaku dalam cerita yang sedang diceritakan, baik sebagai pelaku utama atau pun sebagai pelaku lain.
Secara logika, sangat tidak mungkin pengarang cerita itu menjadi salah satu pelaku cerita tersebut. Karena, yang diceritakan pengalaman orang yang sedang dimakamkan. Pengarang hanya sekedar mengemajikan jika dirinya kelak meninggal dunia. Sehingga di cerita itu, pengarang seakan memerankan dirinya sebagai pelaku yang diceritakan. Penceritaan seperti ini sebenarnya masih masuk wilayah model penceritaan orang ketiga, bukan wilayah orang pertama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar